Minggu, 02 Oktober 2011

Keringat Rakyat Meraih Mimpi

Sumber : Kompas dotcom : Tjatur Wiharyo | Senin, 03 Oktober 2011 | 06:34 WIB

Bintang dan calon atlet negeri ini lahir dari rakyat di kampung-kampung. Kaum muda dan para orangtua mereka sama-sama memeras keringat untuk meraih prestasi. Bahkan, ada yang harus menjadi pemulung atau menjual panci demi menggapai mimpi. 

Anak muda calon bintang lapangan itu bernama Ferdiansyah alias Endoy. Ia tinggal di rumah sempit di Gang Nangka, Sawangan, Depok, Jawa Barat. Di gang sempit itulah Endoy sejak kecil suka menendang bola dari gulungan kertas. Sejak kecil, dia bermimpi menjadi pesepak bola. Tujuannya satu: mengangkat harkat dan martabat keluarga!

Dan, pintu ke arah itu mulai terbuka ketika dia lulus mengikuti seleksi tim nasional usia 16 tahun pada 2008. Ia dikirim ke Uruguay bersama teman-temannya untuk berlatih hingga sekarang. ”Setiap hari kerja saya cuma latihan, bertanding, dan belajar bahasa Spanyol,” ujar Endoy lewat surat elektronik dari Uruguay.

Di setiap inci perjalanan karier Endoy terkandung perjuangan hebat ibunya, Susi Hanakin (47). Yakin bahwa anaknya berbakat, Susi mendaftarkan Endoy (ketika itu berusia enam tahun) ke Sekolah Sepak Bola (SSB) Pelita Bakrie di Stadion Lebak Bulus, Jakarta.

”Waktu itu banyak tetangga mencemooh karena kami miskin. Mereka bilang, ’ngapain lu nyekolahin anak ke SSB, enggak bakal sanggup bayar, deh," ujar Susi di rumahnya, Senin (19/9) siang.

Diejek demikian justru membuat tekad Susi makin kuat. ”Saya akan buktikan bahwa saya bisa. Apa pun saya kerjakan untuk membiayai Endoy jadi pemain bola,” kata Susi yang menjadi pencari nafkah utama karena suaminya sakit-sakitan.

Sejak saat itu perjuangan hidup Susi kian berat. Untuk membiayai Endoy, dia bekerja sebagai tukang cuci pakaian di tujuh rumah. Jam kerjanya terbentang mulai beduk subuh sampai malam. ”Upah dari dua rumah saya khususkan untuk memenuhi kebutuhan Endoy. Sisanya untuk makan sekeluarga,” ujar Susi yang mendapat upah Rp 250.000 dari setiap rumah.

Kian hari kebutuhan Endoy kian banyak. Susi tidak hanya harus membayar iuran bulanan serta membeli sepatu dan seragam, tetapi juga harus menyediakan makanan bergizi. ”Pelatihnya bilang supaya postur tubuh Endoy bagus dan tinggi, dia harus minum susu dan makan makanan bergizi. Ya... jangankan beli susu, bayar iuran bulanan SSB saja saya sering utang (dari) teman,” kata Susi.

Memulung dan jual panci Ketika bingung mencari penghasilan tambahan, Susi melihat botol plastik bekas kemasan air minum bertebaran di Stadion Lebak Bulus setiap selesai latihan atau pertandingan sepak bola. Tanpa malu-malu, dia mengumpulkan botol bekas dan menjualnya. ”Sejak saat itu saya jadi pemulung botol bekas di Lebak Bulus dan Senayan.”

Susi datang ke Lebak Bulus atau Senayan setiap ada latihan atau pertandingan sepak bola. Agenda utamanya bukan menonton, melainkan memulung. ”Saya bawa tas seperti orang mau kerja, padahal isinya karung. Lumayan, rata-rata saya dapat empat karung botol bekas,” katanya.

Ketika Endoy pindah ke SSB Villa 2000 di Pamulang, wilayah Susi memulung makin luas. Dia dan Endoy biasa jalan kaki sekitar 7 kilometer dari rumahnya ke tempat latihan SSB itu. Sepanjang perjalanan, mereka memunguti botol bekas. ”Setiap minggu saya dapat Rp 300.000 dari jual botol bekas. Uang itu khusus untuk beli susu, kacang hijau, tempe, dan makanan bergizi Endoy. Tak apa kami tidak makan, yang penting Endoy makan,” kata ibu tiga anak itu.

Pendapatan dari memulung tetap belum bisa menutup kebutuhan Endoy. Susi pun nekat menjadi kernet minibus jurusan Lebak Bulus-Rambutan untuk mendapat tambahan penghasilan. ”Saya jadi kernet enam bulan. Duitnya untuk membiayai Endoy sekolah dan main sepak bola.”

Upaya keras Endoy dan ibunya mulai tampak hasilnya. Endoy menjadi pemain Timnas U-13 dan Timnas U-16.

Endoy pernah mengirim sebagian uang sakunya untuk memelur lantai rumah yang sebelumnya masih tanah. ”Dia juga membelikan saya televisi bekas,” ujar Susi sambil duduk lesehan di lantai rumah. Di rumah itu belum ada kursi. Tamu yang datang duduk di tikar yang telah lusuh. Selain tikar, di sana hanya ada televisi dan kipas angin.

”Dia jadi pemain timnas (yunior) saja sudah membanggakan, apalagi masuk televisi. Kalau soal materi, saya tidak terlalu mikir. Kami sudah terbiasa miskin,” katanya.

Jual panci Upaya gigih serupa juga ditempuh Kastori (45). Ia juga mesti jungkir balik membiayai anaknya, Ayang Abdulrojak (15), yang ingin jadi kiper profesional. Maklum, penghasilan Kastori sebagai petugas keamanan dan kerja serabutan rata-rata hanya Rp 1 juta per bulan. ”Penghasilan saya jauh dari cukup. Untuk beli sarung tangan seharga Rp 175.000 setiap empat bulan sekali, saya kelimpungan,” kata Kastori sambil memandangi sarung tangan anaknya yang bolong di sana-sini.

Kalau sudah kepepet, barang apa saja yang ada di rumah dia jual. ”Saya pernah jual panci bekas ke tukang loak untuk ongkos Ayang bertanding,” katanya.

Perjuangan anak meraih mimpi jadi atlet tidak kalah beratnya dengan sang orangtua. Tengoklah pebulu tangkis remaja di PB Jaya Raya, Jakarta. Mereka rela jauh dari orangtua demi mengejar prestasi. Laudza (12) datang dari Jambi, Laras (12) dari Purwokerto, dan Ashar (12) dari Makassar. Di Jakarta, para remaja ini harus mengurus keperluan mereka sendiri serta membagi waktu antara latihan yang berat dan sekolah.

”Berat sih pasti, tetapi mau bagaimana, semua harus dijalani supaya jadi atlet berprestasi,” kata Laras yang mengidolakan pebulu tangkis Susi Susanti.

Ketika mereka berprestasi, ikut berbanggalah bangsa ini. Ketika mereka bekerja keras, siapa peduli? Ah, Indonesia.... (Budi Suwarna & Yulia Satphiani)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar