Senin, 03 Oktober 2011

Tak Ada Hujan Hadiah untuk Mamas

Sumber : www.tempo.co.id

Tak ada teriakan histeris ABG (anak baru gede) menyambut kepulangannya. Nun jauh di pelosok Desa Paseban, Bayat, Klaten, Jawa Tengah, orang memilih membicarakan Indri, asal Klaten, pemegang kunci sebuah rumah senilai Rp 1 miliar yang diperebutkan kontestan acara reality show di stasiun televisi swasta.
Masyhur Aziz Hilmy memang bukan pemenang kontes nyanyi, adu tampang, atau pesohor dadakan lainnya.

Namun, meski jauh dari ingar-bingar panggung, remaja 16 tahun ini mengharumkan nama Indonesia di dunia internasional. Awal September lalu, Masyhur yang akrab dipanggil Mamas meraih juara pertama Olimpiade Astronomi Internasional (IAO) ke-9 di Ukraina. Dia satu-satunya wakil dari Indonesia untuk kategori peserta senior.

Apa yang diperoleh Mamas dari kejuaraan internasional itu? Murid kelas III IPA-4 SMU 1 Klaten itu cuma tersenyum kepada Tempo. Jangan bayangkan Mamas pulang membawa pulang mobil, rumah, atau sederet hadiah dari sponsor. Dari ajang pertarungan di Simeiz, Crimea, Ukrania, itu Mamas hanya beroleh selembar piagam penghargaan.Selebihnya, “Mamas tidak mendapatkan apa-apa,” kata Surantiyana, Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan SMU 1 Klaten. Satu-satunya imbalan yang lumayan adalah hadiah dari olimpiade serupa yang diraihnya di tingkat nasional. Selain piagam, Mamas mendapat hadiah uang Rp 6 juta. Hadiah itu belum seberapa dibanding imbalan untuk pemenang olimpiade sains. Elisa Dian Pramesti, teman Mamas di sekolah yang sama, meraih emas dalam Olimpiade Science Nasional. Selain mendapat hadiah uang Rp 7 juta, juga mendapatkan bea siswa untuk menyelesaikan studi ke jenjang yang lebih tinggi. “Seluruh biaya pendidikannya ditanggung,” ujar Surantiyana.

Mamas tak mudah meraih emas di Olimpiade Astronomi Internasional itu. Ia harus menyisihkan 1.300 pesaingnya di kategori senior itu sebelum dilatih di pemusatan latihan di Observatorium Bosscha, Departemen Astronomi Institut Teknologi Bandung (ITB), serta di Planetarium dan Observatorium Dinas Pendidikan DKI Jakarta.

Akibatnya, Mamas juga harus rela ketinggalan pelajaran sekolahnya berminggu-minggu. Apalagi ketika itu ia baru saja naik kelas III. “Saya tertinggal dalam pelajaran, sehingga saya harus mengejarnya,” kata Mamas.
Untuk mengejar ketertinggalannya, sepulang sekolah dia langsung ikut bimbingan belajar setelah sebelumnya menyempatkan mampir di warung internet.

Di sekolah, Mamas aktif hampir di semua klub studi. Ia anggota klub bahasa Inggris hingga klub matematika. Di luar sekolah ia memilih berkutat dengan buku di kamarnya ketimbang bergabung dengan tetangganya di gardu di samping rumahnya.

Yang sedikit membuat Mamas dan ibunya gembira adalah tawaran masuk ke Institut Teknologi Bandung. “Mas, kalau masih tertarik mempelajari astronomi, saya coba usahakan agar kamu bebas tes masuk ITB,” kata Mamas menirukan pembimbingnya. Namun, janji pembimbing Mamas–meski masih janji–telah membuat Siti Jamiatun, ibu Mamas, senang. Janda yang sehari-hari menghidupi tiga anaknya dengan merias pengantin itu seperti melihat masa depan cerah anak keduanya itu.

Jamiatun tak henti melecut semangat anak keduanya. “Le, kowe wis ora duwe bapak. Dadio wong pinter ben ora isin karo liyane (Nak, kamu sudah tidak punya ayah. Jadilah orang pandai agar tidak malu dengan yang lain),” nasihatnya.

Tak ada hujan hadiah untuk Mamas. Tidak juga tepuk sorak. Sambutan paling meriah yang diterimanya adalah ketika peringatan ulang tahun sekolahnya. Di atas panggung sekolah ia menceritakan pengalamannya mengangkat nama bangsa, ribuan kilometer dari Klaten. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar